DPRD Natuna Mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP)

InDepthNews.id (Natuna) – Polemik rencana penambangan pasir kuarsa masih terus berlangsung di Kabupaten Natuna. Masyarakat yang menamakan Aliansi Natuna Menggugat menyurati DPRD Natuna untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk mendapat penjelasan mengenai tambang pasir yang akan dikelola oleh salah satu PT berlokasi di utara Pulau Bunguran Besar Kabupaten Natuna.

Bertempat di ruang rapat paripurna DPRD Natuna, Jumat (27/05). Pihak DPRD Natuna pun mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) tetang Rencana Penambangan pasir Kuarsa di Natuna yang menjadi polemik tersebut.

RDP di samping menghadirkan Pemohon (Aliasi Natuna Menggugat) juga mengundang stakeholder lainnya, seperti Forkopimda, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Camat Tumur Laut beserta Kadesnya dan Camat Bunguran Utara Beserta Kadesnya serta Ketua MUI dan Ketua KNPI.

RPD yang dipimpin oleh Ketua DPRD Natuna Daeng Amhar dengan Wakil Ketua I Daeng Ganda Ramatullah juga menghadirkan pemerhati tambang Alias ​​Wello yang merupakan mantan ketua DPRD Kabupaten Linggga dan Bupati Lingga.

“Natuna masih awam dengan apa itu pasir kuarsa ataupun silika, oleh karenanya pihak DPRD perlu mendengar langsung dari orang yang berpengalaman dengan pasir kuarsa ataupun silika ini.” ungkap Amhar.

Sementara itu, Alias ​​Wello dalam paparannya menyampaikan, pasir kuarsa saat ini memiliki nilai ekspor yang cukup tinggi, karena penambangannya berada didaratan maka penambahan nilai langsung diterima oleh daerah.

“Saat ekonomi terdampak dari covid-19, Kabupaten Lingga sangat terbantukan PAD nya dari hasil ekspor pasir kuarsanya.” terang Alias ​​Wello.

Lanjut Wello, setiap penambangan musti ada dampak postif dan negatifnya. Oleh karena dalam amdalnya nanti perlu ada perintah untuk mengatasi dampak lingkungannya.

Pada kesempatan itu, Bupati Natuna Wan Siswandi menambahkan penyesuaian tata ruang wilayah kabupaten Natuna dengan menyesuaikan kebutuhan pembangunan. Perubahan tata ruang wilayah kabupaten Natuna sudah dimulai tahun 2017 lalu. Setelah melakukan pengkajian, riset dan kepentingan seterategis Nasional maka dalam dokumen RTRW sedikit ada perubahan. Sehingga Teluk Buton ditetapkan sebagai kawasan industri yang memiliki potensi tambang.

” Jika perindustriannya belum berjalan, maka potensi tambangnya bisa dimanfaatkan dan nantinya setelah paska tambang bisa dikembalikan keperuntukan awal (industri-red),” terang Bupati Natuna Wan Siswandi

Bupati juga meminta kepada PT. Indoprima Karisma Jaya (IKJ) yang telah memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk tidak melakukan penambangan sebelum semua perizinan, termasuk Amdal dan ijin kegiatan eksplorasi diperoleh.

Setelah mendengar pemaparan dari  Alias ​​Wello dan Bupati Natuna, Anggota aliasi Natuna Menggugat tetap pada perinsipnya, yaitu tidak ada penambangan pasir kuarsa di Natuna.

“Dengan alasan apapun tidak boleh terjadi penambangan di Natuna.” Pinta Wan Sofyan.

Sebagian dari anggota yang menyetujui persetujuan tersebut dengan pertimbangan terbukanya lapangan kerja.

“ Kami minta pengolahan pasir kuarsanya di Natuna. Pasir kuarsanya saja yang di ekspor, sementara pasirnya tidak perlu diangkut karena keperluan pembangunan di Natuna itu sendiri. Selain itu jika diproduksi di Natuna penyerapan tenaga kerja lebih banyak.” terang Abar Lani.

Masih dalam kesempatan yang sama, Direktur PT Indoprima Karisma Jaya (IKJ) Sulaiman menambahkan, jika telah mengajukan untuk di ekploitasi seluas 2.000 hektar, namun hanya 500 hektar yang disetejuai.

“Untuk itu kami (PT.IKJ) hingga 4 bulan atau lebih hanya melakukan eksplorasi” terang Sulaiman.

Ketua Komisi I DPRD Natuna Wan Aris Munandar meminta kepada pihak perusahaan untuk memperkerjakan anak Natuna.

“Para sarjana anak Natuna baik itu lulusan dalam negeri maupun luar negeri yang membutuhkan pekerjaan, oleh karena itu pihak perusahaan harus menyerap tenaga kerja lokal terlebih dahulu”. pinta Aris.

“Apa yang menjadi masukan seluruh pihak hari ini akan menjadi pertimbangan kami. Seperti yang disampaikan Pak Bupati, mohon kepada pihak PT jika memang izinnya tidak perlu ditunda lagi penambangannya dan segera melengkapi semua perizinannya baru nambang,” Tutup Amhar.

Ditempat terpisah Alias ​​Wello kepada Media InDepthNews.id. menyampaikan, untuk ekonomi sosial berkelanjutan kita perlu memasukkan dalam amdal dengan mereboisasi dengan hutan industri seperti yang dilakukan di Lingga.

” Dibikin penambangan sistem buka tutup yaitu ditambang langsung ditimbun kembali dengan tanah yang subur, lalu direboisasi dengan hutan Industri, seperti pohon akasia.” Ungkapnya

“Karena pohon akasia merupakan bahan baku kertas yang dibutuhkan oleh pabrik kertas secara terus menerus,” tutupnya.

(wan)

Comment